Kamis, 03 Januari 2013

Merindu Negara Allah


 Allah menjadikan bumi ini sebagai tempat manusia untuk beribadah kepada-Nya. Maka untuk mewujudkan tujuan Allah mencipta manusia (Qs 56:51) dan menjadikan bumi ini, maka Allah merancang sistem (tata aturan, hukum atau Syari’at) dalam Diinul Islam agar manusia bisa beribadah kepada-Nya dengan contoh yang diperagakan oleh Rasul-Nya. “Dia yang telah mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk dan Dinul Islam agar dimenangkan atas seluruh Din yang ada, walaupun orang-orang musyrik tidak menyuakainya (Qs 48 : 28, 9 :33).

Secara logika maka kita bisa memahami bahwa bisa terlaksananya penghambaan manusia kepada Rab-nya secara sempurna dan menyeluruh dalam segala asfek kehidupan, bukan hanya ritual saja, hanyalah dalam wujud sebuah institusi yang berwenang dan berkuasa/berdaulat penuh secara de jure de facto. Yang kini disebut sebuah lembaga negara. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasul Saw dengan membentuk MADINAH (tempat tegaknya dinul Islam) di Yatsrib.

Di Wilayah Nusantara ini, ideologi/cita-cita untuk mewujudkan lembaga pengIbadahan pasca runtuhnya kekhilafahan Islam ini telah dirintis kembali oleh para pejuang Islam yang bahu membahu melawan kaum Kuffar Belanda yang menjajah wilayah ini. dari mulai Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dll hingga HOS Cokroaminoto, SM.Kartosuwiryo dll. Dalam perkembangannya pada saat itu hingga era Revolusi pasca Proklamasi, baik itu Proklamasi RI maupun Proklamasi NII. Seluruh umat Islam yang diwakili oleh tokoh-tokohnya telah mewujudkan keseriusannya untuk membentuk Negara Allah (kita sebut demikian, karena istilah Negara islam telah dimanipulasi, dipolitisasi dan diracuni, terutama oleh KW IX al-Zaytun). Baik itu tokoh-tokoh yang tergabung dalam wadah yang konstitusional menurut istilah mereka. Seperti halnya Muhamad Natsir (Masyumi), Wahid Hasyim (NU), Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir dll yang merumuskan Piagam Jakarta dan memperjuangkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara dalam Sidang konstituante tahun 1956 di Bandung, maupun yang berjuang dengan pola furqon sebagaimana halnya SM.Kartosuwiryo. Kita patut bersyukur, karena saat itu tokoh-tokoh Islam seragam komitmen dengan keislamannya untuk mewujudkan daulah Islamiyah.

Namun kini, hal itu tidak terjadi lagi. Tokoh-tokoh yang mengaku sebagai tokoh Islam justru menolak kalau boleh kita sebut demikian. Seperti halnya ungkapan mendiang Gus Dur yang tokoh NU,mengatakan musuh saya adalam Islam kanan, islam yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Kemudian Amien Rais, tokoh Muhamadiyah mengatakan bahwa tidak ada ayat dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang wajibnya tegak Negara Islam. Begitupun Imam Masjid Istiqlal, Ali Mustofa yakub mengatakan bahwa bagi siapa saja mau menegakkan Negara Islam, maka silahkan keluar dari Indonesia dan mencari negara lain yang mau menegakkannya (TvOne-Apa Kabar Indonesia).

Padahal dalam Qs 48:28 dan Qs 9:33 diatas bahwa hanya orang-orang musyrik yang membenci Idzharnya/tegak nya al-Islam, mengapa mereka muslim bahkan tokohnya, justru bersikap seperti orang musyrik?.

Kita sebagai orang beriman tentu ingin beribadah sebagaimana Ibadah yang dikehendaki Allah dengan tata pelaksanaannya telah dicontohkan Rasul-Nya. Maka kita menyadari seruan Allah untuk melaksanakan Islam secara kaffah. “wahai orang-orang beiman masuklah kamu kedalam Islam secara menyeluruh/kaffah….(Qs 2:208). Hal itu hanya bisa terlaksana dalam wadah yang bernama NEGARA ALLAH. Bagaimana bisa kita melaksanakan islam dan hukum-hukumnya secara menyeluruh bila kita bersama-sama juga untuk melaksanakan Dasar Negara buatan manusia, yang digali dari nilai-nilai budaya nenek moyang, “Jika mereka diseru untuk menjalakankan apa-apa yang diturunkan Allah dan kepada rasulNya, mereka menjawab cukuplah apa-apa yang datang dari nenek moyang kami. Walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui dan tidak mendapat petunjuk (QS 5 : 104). “Bagimu Dinmu, Bagiku Dinku “(Qs al-Kafirun ayat 7). Disana akan terjadi sekulerisme, pemisahan antara Islam dengan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar